Kamis, 03 April 2008

Sinden Margonda vs Pengemis Modern




Hari ini, aktifitas pagi mulai menyeruak seiring bertambah tingginya matahari.
Dari arah luar terdengar kisruh obrolan asyik dari para ibu-ibu yang sedang mengerumuni tukang sayur, suara daun2 yang terlibas sapu lidi, serta pekik riang anak2 berbaur menjadi satu. Saya sedang berdiri tepat dibelakang pintu kos-an, sembari mengucapkan amin sebagai penutup do'a, saya yakinkan dalam hati bahwa hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan dan penuh keberuntungan.

"You are what you think about"




Saya sangat yakin dengan kata2 ini...


Dengan semangat pagi, saya melangkahkan kaki kiri keluar kamar, menuruni tangga, dan membuka pintu gerbang...

Kadang-kadang asyik juga sesekali menjadi orang
"out of the box" dan memperhatikan orang2 "in the box" karena pagi ini saya berjalan sambil memperhatikan dengan penuh minat semua aktifitas yang terjadi. Saya hanya memperhatikan... hanya itu, karena saya tidak mengenal mereka yang beraktifitas, saya bukan bagian dari mereka...
saya menerka-nerka apa yang ada didalam pikiran mereka yang tertawa, apa yang ada didalam pikiran mereka yang sedang menyapu... dan apa yang ada didalam pikiran kakek tua yang sedang duduk melamun diberanda rumahnya...
Mungkin asyik juga kalau Tuhan memberikan kesempatan untuk sekali saja, menjadi orang lain....

Saya terhentak dari semua lamunan itu, saya bersyukur pagi ini masih bisa melihat matahari dan berharap tidak menyia-nyiakan berkah dari Tuhan ini dengan menjadikan hari ini hari yang tidak menyenangkan...

Semangat saya semakin menggebu, dan sekarang saya sudah berdiri ditepi jalan margonda, bersiap mengambil ancang-ancang untuk menyeberang jalan.

Sulitnya menyeberang jalan disini, biasanya karena para pengendara motor yang suka nyelip sana sini, mereka pikir cuma mereka yang butuh cepat... nggak mau kalah... benar-benar tidak punya what people call as manner, tapi tentu saja mereka tidak akan sanggup merusak suasana hati saya, saya tetap berjalan sambil tersenyum tipis...

"my life is mine, i'm the only one who deserve to decide what makes me happy, and what does not, i'm the only one who deserve to decide how i will feel today"

Dijalan sempit Gang Sawo, sudah dipenuhi mahasiswa yang akan berangkat kuliah...
Entah benar atau tidak, kadang-kadang saya berfikir orang yang berjalan lebih cepat adalah orang yang lebih terdidik.... hehe sebenarnya ini pendapat yang cukup ngasal, tapi dijalan ini memang itulah satu-satunya yang membedakan antara mahasiswa dengan pedagang, dengan pengemis, dan dengan karyawan.

Baru saja beberapa menit yang lalu saya keluar dari kamar kos, saya sudah menemukan hal menarik pagi ini, dari jarak sekitar tujuh meter saya mendengar dentingan nada kecapi serta alunan lagu khas sunda yang sendu. Tak lama saya kemudian dapat melihat dua sosok wanita yang menjadi sumber suara ini, mereka duduk diatas susunan kardus ditepi jalan. Saya perhatikan keduanya, sepertinya mereka sepasang ibu dan anak, si anak kira-kira berumur 20an dengan cukup lihai memainkan kecapi, dan si ibu berdendang sedih dengan tubuh bersandar. Ibu yang sudah cukup tua mengenakan setelan ala 70-an, kemeja bermotif bunga-bunga dan rok dengan banyak lipatan, bibirnya dipoles dengan warna pink cemerlang, rambutnya diikat rapi sedemikian rupa hingga menyerupai sanggul, pada pipinya ada polesan bedak yang cukup tebal, si anak sudah berhenti memetik kecapi, ditangan kirinya ada cermin kecil yang ia hadapkan kewajahnya, sementara tangan kanannya memegang lipstik dan memoleskannya ke bibir, lipstik dengan warna yang sama dengan yang dipakai ibunya, gadis muda ini juga tidak kalah modis dengan ibunya, dengan rambut lurus, ia mengenakan kaos dan celana jeans.

Mereka tidak cantik, meskipun jelas sekali mereka berusaha tampak cantik. Didepan mereka ada sebuah speaker kecil yang tersambung dengan microphone, diatasnya ada gelas plastik berisi beberapa lembar uang seribu...

Saya ingin menyebut mereka Sinden Margonda

Ya... mereka cuma pengamen, seperti pengamen lainnya.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa mereka berdandan...!
mereka berusaha tampak sebaik mungkin, mereka hanya pengamen jalanan... tidak seperti umumnya pengamen yang saya temukan diatas bus kota dengan penampilan lusuh, dan berusaha tampak merana agar dikasihani.

Coba anda bayangkan, dengan segala keterbatasan mereka, mereka masih menyempatkan membeli semua kosmetik itu...
Mereka kekurangan, namun tampil dengan segala kelebihan yang mungkin mereka lakukan

Saya takjub, ini benar-benar menelanjangi persepsi saya tentang pengamen dan pengemis jalanan...

Mereka membuat saya sadar, bahwa dengan menjadi pengamen bukan berarti mereka akan menjadi orang2 yang terbuang, bukan berarti mereka menjadi orang-orang yang tidak penting dan tampil lusuh. Mereka masih menghargai diri mereka sendiri, mereka mendandani diri mereka...
Mereka masih berarti.......
Mereka masih memiliki dan menikmati kehidupannya.....
Mereka masih punya harga diri....


Sementara kebanyakan orang, sering mengemis membuat dirinya lebih rendah dari yang sebenarnya, supaya dibantu, dikasihani, kadang supaya lepas dari konsekuensi kesalahan yang dilakukannya.

Bahkan dikampus favorit ini, tidak jarang saya menemukan pengemis-pengemis modern, pengemis dengan handphone canggih, tapi selalu bilang nggak ada pulsa dan suka minjem hp saya untuk nelpon ke telpon rumah atau ke sesama fleksi, atau kesesama CDMA dengan dalih :


"kan pake hp lo lebih murah, gw pinjem ya..."

tapi tetep aja, intinya lo nggak punya modal....

Pengemis berikutnya menghiba-hiba mengatakan mereka tidak punya banyak waktu untuk sekedar mengerjakan tugas kelompok,

"Duh, gw mesti pergi nih, gw ditungguin jam tiga... trus gimana nih...? Please... lu aja ya yang bikin..."

akhirnya menyuruh saya untuk membuatnya. Padahal mereka hanya ingin pergi ke suatu acara.

Ada lagi pengemis yang suka nitip fotokopian paper tapi nggak pernah mau nyumbang dengan alasan :

"eh sory, gw nggak ada uang receh, sekalian bayarin aja ya..."

Mungkin tidak akan cukup kapasitas blog ini jika saya ceritakan berbagai bentuk pengemis lainnya, karena mereka sangat banyak jenis dan macamnya, dan akan lebih banyak lagi bentuk pengemis di jajaran pemerintahan, para politisi busuk itu. Tapi inilah realita...

Kebanyakan orang suka memanfaatkan dan mengambil manfaat dari apapun dan siapapun, namun sangat sulit jika harus memberi manfaat. Mereka orang-orang yang selalu siap menerima namun tidak pernah siap untuk memberi, mereka bahkan rela menjadi rendahan hanya untuk mengambil keuntungan. Namun jauh didalam hari saya, saya yakin orang-orang seperti ini hidupnya tidak akan pernah bahagia,

mereka tidak menemukan apa yang mereka miliki, dan tidak pernah memiliki apa yang mereka temukan

Mereka tidak tahu seberapa beruntungnya mereka, mereka selalu merasa kekurangan, dan merasa menjadi korban, segala sesuatu dipandang hanya dari perspektif mereka,

Ah, sudahlah.. saya tidak akan membahas mereka lebih lanjut, mungkin mereka memang harus ada agar orang-orang baik mendapatkan ekslusifitasnya.

Yang jelas, bagi saya hidup ini selalu berharga. Tidak seharusnya saya merendahkan diri saya sendiri, saya menghargai diri saya apa adanya, dengan segala yang saya punya. Bahkan jika hanya satu tarikan nafas yang saya punya saya masih akan mensyukurinya....

Saya ingin seperti Sinden Margonda, yang dengan segala keterbatasannya tetap menampilkan penampilan terbaiknya.

Read More..